Minggu, 19 Juni 2011

Nasionalisme Gaya Anjing Bangsa Indonesia Kini

Saya mencoba membawa pada diskusi bukan tentang materi hukumnya, sebab UU Penanaman Modal jelas merupakan hukum “pesanan” penguasa kapital, sebagaimana paradigmanya adalah melindungi investor. “Undang-undang pesanan pemilik kapital” adalah fakta, rumor yang informasinya A1, sebab ada juga penyusun rancangan undang-undangnya sendiri juga bercerita mengakui tentang isu itu. Buku-buku tentang politik hukum juga ada yang membahas “undang-undang pesanan” itu.

Apa salah melindungi investor? Tidak. Semua subyek hukum berhak atas perlindungan hukum. Tetapi tema yang lebih penting adalah kenyataan bagaimana beroperasinya investasi di Indonesia dan kualitas sumber saya manusia (SDM) Indonesia.
Selama ini paradigma pembangunan Indonesia begini: “Indonesia kaya sumber daya alam (SDA). Maka butuh uang banyak untuk membiayai pengelolaannya. Datangkan investasi sebanyak-banyaknya! Utang juga penting! Kian banyak aktivitas ekonomi maka kian rakyat sejahtera sebab menyerap banyak tenaga kerja, ada income, lalu ada saving, dan saving massal akan menjadi investasi masyarakat.” Ini teori yang indah.
Teori ekonomi kapitalisme akan mendorong orang untuk terus berbelanja tak sebatas pada kebutuhan, namun terus menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru yang sebenarnya adalah keinginan-keinginan. Watak konsumtif masyarakat ini yang dianggap kebenaran sebagai ukuran kesejahteraan. Ilmu ekonomi memang telah menggelincirkan kita. Kesederhaan akan dianggap hina. Berlaku pepatah Jawa: “Ajining raga dumunung aning busana.” (harga diri/badan terletak pada penampilan).

Kenyataan-kenyataan investasi di Indonesia di antaranya sebegai berikut:
1. Riset Prof. Mubyarto (almarhum) menemukan fakta bahwa investasi partikelir telah melakukan penghisapan produksi di daerah-daerah, rata-rata lebih dari 50 persen. Jadi, rakyat hanya makan sisa-sisa.
2. Daerah-daerah kaya SDA energi fosil dan hasil hutan seperti Kalimantan contohnya, banyak sekali investasi masuk ke sana menambang batubara, tapi di wilayah Kalimantan justru mengalami krisis energi yang amat parah dan penduduk sekitar wilayah tambang tetap hidup miskin menjadi korban perusakan ekologi.
3. Di Papua terdapat emas bergunung-gunung juara dunia sejak zaman Orde Baru hingga kini ditambang Freeport, di Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara di tambang Newmont, keduanya investasi dari Amerika, tetapi juga tidak mengubah keadaan masyarakat di sama menjadi lebih baik.
4. Di Sidoarjo terjadi kehancuran belasan desa/kelurahan di tiga kecamatan gara-gara pengeboran gas oleh Lapindo Bakrie yang sembrono yang melanggar aturan-aturan tata ruang wilayah dan regulasi jarak pengeboran dengan pemukiman penduduk, jalan raya dan jalan tol.
5. (Pokoknya bosen sudah kalau kita beber seluruh contoh bertebaran di mana-mana yang juga gampang diperoleh dari media internet).

Hal lain adalah mental pengerat dan wereng yang dimiliki aparat keamanan dan birokrasi negara ini di mana banyak juga pengusaha yang mengeluh adanya upeti-upeti. Kita juga dapat membaca salah satu contoh hasil investigasi Global Witness tentang “Uang Keamanan” yang dalam jumlah besar diterima para perwira tentara di Papua sana. Hal itu diakui Freeport. Juga kasus penggunaan tentara oleh Exxon (juga korporasi Amerika) di Aceh di mana kasus ini pernah diadili di pengadilan Amerika Serikat sendiri, dan lain-lain.

Belum lagi modus-modus penggelapan pajak, salah satu penyebabnya juga untuk memaksimalisasi akumulasi kapital yang tadinya banyak berkurang karena banyaknya upeti-upeti yang dikeluarkan.
Jadi, investasi di Indonesia ini penikmatnya adalah tetap saja mereka yang berada di papan atas stratifikasi sosial, yakni: investornya, pucuk-pucuk birokrasi, para perwira tentara dan polisi, politisi yang mempunyai otoritas penyusunan regulasi dan pengawasan. 

Dalam keadaan semrawut seperti itu tentu saja hukum investasi tak berkutik sebab hukumnya produk konspirasi yang dijalankan dengan kasak-kusuk. Semuanya terlibat. Dan negara tetap dirugikan.
Melihat fakta-fakta seperti itu, lalu muncul pertanyaan: “Nasionalisme model apa yang dimiliki para intelektual Indonesia: Presiden, anggota parlemen, para menteri, para periwa tentara dan polisi, para ahli penyusun rancangan peraturan perundang-undangan, para staf ahli, insan pers, dosen, advokat, hakim, dan lain-lain?”
Sementara itu para intelektual, SDM berkualitas Indonesia juga banyak yang putus asa di dalam negeri sendiri tak dihargai, sehingga bekerja pada perusahaan-perusahaan luar negeri dengan kesejahteraan yang jauh lebih tinggi.

Hanya tinggal sisa-sisa saja yang peduli tentang bagaimana nasib masyarakat lemah yang hidup di desa-desa miskin tertinggal di wilayah operasi perusahaan-perusahaan besar, dengan dana program advokasi seadanya, yang lalu menerima stigma ”provokator” dari para antek investasi asing dan anjing-anjing penjaga kapital pertikelir asing dan domestik. Inilah nasionalisme anjing, di mana nasionalisme sesat, tak lagi didasarkan atas rasa dan cita-cita membesarkan negara ini, memerdekakan bangsa ini dari penjajahan tirani modal partikelir, terutama asing, yang menghisap itu. 

Kita semakin menjadi bangsa anjing, mengais-ngais menjilati kaki juragan yang kaya-raya, meminta belas kasihan utang, lupa bahwa kita punya kekayaan yang amat besar yang terus dihisap para juragan itu. Tiap tahun kita harus membayar cicilan dan bunga utang, memberikan kontrak-kontrak penguasaan SDA, dan ternyata kita tetap seperti anjing yang kudisan, penuh kurap, kurus serta sulit berdiri sendiri.
Lalu kapan kita akan menyadari itu semua dan menjadi bangsa yang waras, menjadi majikan minimal menjadi diri sendiri? Saya kagum dengan Presiden Evo Morales dan militer Bolivia yang menasionalisasi kekayaan-kekayaan vital negara sekitar tahun 2005, terutama migas, lalu berkata kepada para pemodal asing, “Jika tak setuju, silahkan pergi dari negara ini!” Beberapa tahun setelah itu pendapatan migas Bolivia naik berlipat-lipat.

Apakah Indonesia tak bisa?
Bung Karno pernah berkata, “Jika nanti kita sudah punya banyak insinyur, maka kekayaan minyak akan kita kelola sendiri.” Tapi sayangnya, hukum kita telah membuat para insinyur Indonesia banyak yang ahli, melayani perusahaan-perusahaan asing, sebab 85 persen kekayaan migas kita di tangan investasi asing. Dan itulah hukum pesanan penguasa kapital itu. 

Kapan kita bergerak untuk memerdekakan negara ini?

Sumber : http://hukum.kompasiana.com/2011/05/15/nasionalisme-gaya-anjing-bangsa-indonesia-kini/

Senin, 06 Juni 2011

My First Blog and Post

Monday, June 6th 2011

Ini pertama kali saya menulis secara online.. rasanya ketinggalan zaman, ya memang benar..
saya baru buat blog ini tepat di tahun ke-6 berdirinya blogspot..

Blogspot adalah situs blog pertama. Diciptakan oleh Evan Williams sebelum kemudian dijual kepada Google pada tahun 2005 seharga Rp400 milliar. Awalnya bernama Blogger dan kini lebih dikenal sebagai Blogspot. Williams adalah juga pencipta situs pertemanan Twitter yang kini lagi ngetren bersama situs sejenis, Facebook.

Setelah Blogspot, beberapa tahun lalu muncul software dan situs gratisan yang kemudian popoler dengan sangat cepat, yaitu WordPress, yang kini juga dipakai blog Gugel Gugel. Sudah ratusan ribu blogger Indonesia dan jutaan blogger dunia yang memakai WordPress. Bahkan tidak sedikit blogger yang awalnya memakai Blogspot kini beralih ke WordPress.

WordPress lebih bagus karena banyak fitur dan plugin-nya. Cuma sayang, versi WordPress.com tidak mengizinkan blogger memasang iklan, sedangkan blog gratisan di Blogspot bisa dipasangi iklan semacam Adsense dan lain-lain.